Kamis, 31 Juli 2014

BERKAH HARI JUM"AT



Tak terasa betapa cepatnya waktu berjalan, dan akhirnya sampain juga pada hari Jumat. Memang benar dalam QS. Al-Ashr bahwasannya Manusia itu berada dalam kerugian bila tidak memanfaatkan waktunya, Waktu itu tidak bisa dibeli bahkan dikembalikan satu detik yang lalu kita ulangi pasti tidak akan bisa. Dan celakalah Orang yang tidak memanfaatkan waktunya. Kali ini saya mencoba menulis tentang keutamaan hari jum’at semoga bermanfaat dunia akhirat. Amin

Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik hari ketika matahari terbit adalah hari Jum’at, pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu Adam diturunkan dari surga, pada hari itu pula taubatnya di terima, pada hari itu juga ia wafat, pada hari itu Kiamat akan terjadi dan tidak ada satupun binatang melata kecuali mereka menunggu pada hari Jum’at sejak shubuh sampai terbit matahari karena takut akan datangnya hari Kiamat, kecuali Jin dan manusia.”(HR. Abu Dawud, Shahih)

Hari Jumat, tak pelak, merupakan hari yang sangat istimewa dalam Islam. Itu sudah kita ketahui bersama. Ada banyak hal yang disebutkan hadist dalam hari Jumat ini. Apa saja? Berikut hadist-hadist yang menyebutkan kelebihan hari Jumat.
Dari Abu Hurairah katanya, Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, maksudnya: “Sebaik-baik hari yang terbit matahari ialah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan pada hari itu juga dia dikeluarkan dari syurga. Pada Jum’at juga kiamat akan berlaku. Pada hari itu tidaklah seorang yang beriman meminta sesuatu daripada Allah melainkan akan dikabulkan permintaannya.” [HR Muslim]

Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari Jum‘at adalah penghulu segala hari dan hari yang paling besar di sisi Allah Subhanhu wa Ta ‘ala yaitu hari yang lebih besar daripada hari raya Adha dan hari raya Fitrah, pada hari Jum‘at itu terdapat lima kejadian yaitu hari yang dijadikan Adam ‘alaihissalam dan Baginda di turunkan daripada syurga ke muka bumi, dan pada hari itu juga wafatnya Adam ‘alaihissalam, dan Allah mengurniakan satu saat di mana do’a-do’a dikabulkan kecuali do’a-do’a maksiat, dan hari Jum‘at juga akan terjadinya hari Kiamat.” [HR Ibnu Majah]

Rasulullah sallallahu.’alaihi.wasallam bersabda, “Sesungguhnya harimu yang paling utama adalah hari Jum’at. Maka perbanyakkanlah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawatmu ditunjukkan kepadaku. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami ditunjukkan kepadamu sedangkan tubuhmu telah hancur? Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam menjawab: Sesungguhnya Allah mengharamkan tubuh para Nabi bagi bumi (tidak hancur).” [HR Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah]

Rasulullah bersabda maksudnya : “Barang siapa yang berwudhu dan kemudian dia pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, lalu mendengar dan tidak bercakap (ketika khutbah dibacakan), maka diampuni dosa-dosanya yang ada di antara hari Jum’at itu dan hari Jum’at berikutnya.” [HR Muslim]

Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Pada hari Jum’at terdapat satu waktu, tidaklah seorang hamba Muslim memohon sesuatu kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya. Carilah ia di akhir waktu selepas asar.” [HR Abu Daud]

Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang Muslim itu meninggal dunia pada hari jum’at atau pada malam Jum’at melainkan Allah menyelamatkannya dari fitnah kubur (soalan di dalam kubur).” [HR At-Tirmizi]
Rasulullah sallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan, semuanya adalah penghapus dosa-dosa di antara kedua-duanya selagi mana dijauhi dosa-dosa besar.” [HR Muslim]

Jumat, 25 Juli 2014

Hancurnya sebuah Negri



      Cara al-Qur’an memperingatkan manusia adalah dengan menunjukkan gejala-gejala kehancuran segala sesuatu, agar mereka mengambil pelajaran dan segera memperbaiki diri, sebelum semuanya terlambat dan benar-benar tidak bisa ditolong.
إِنَّ هَذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَن شَاء اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلاً

Sesungguhnya ini (al-Qur’an) adalah suatu peringatan. Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya.” (QS: al-Muzzammil: 19).

Bila pernyataan ini kita tarik ke dalam konteks sosial, baik dalam skala kecil maupun besar, maka kehancuran maupun kebangkitan sebuah komunitas sudah dapat diramalkan jauh-jauh hari dengan mengamati tanda-tandanya. Apa yang disebut komunitas ini bisa berupa lembaga, organisasi, masyarakat, bangsa, negara, atau umat secara keseluruhan. Salah satu peringatan itu Allah tuangkan dalam Qs. al-Isra’: 15-16, yang berbicara tentang awal-mula kebinasaan sebuah negeri. Mari mengkajinya, lalu memutuskan apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah kerusakan yang sudah diancamkan.
Di sana Allah berfirman:
مَّنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul (pemberi peringatan). Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka “amarnaa” orang-orang yang hidup mewah diantara mereka, tetapi mereka melakukan kefasikan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” [QS: al Isra’ : 15-16)
Menurut al-Hafizh Ibnul Jauzi, para mufassir klasik menyitir tiga penafsiran atas kata amarnaa (أمرنا) yang terdapat dalam ayat ke-16 tersebut. (Dalam teks diatas, kata ini sengaja tidak diterjemahkan). Meskipun sekilas terlihat berbeda, sebetulnya masing-masing mengarah kepada gejala-gejala tertentu yang saling terkait dan pada klimaksnya membawa akibat yang sama.

Pertama, menurut Sa’id bin Jubair, kata amarnaa berasal dari al-amr, artinya perintah. Jadi, dalam frase ini terdapat bagian yang tidak disebutkan, tetapi sudah bisa dipahami dari konteks utuhnya. Seolah-olah Allah menyatakan: “jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah diantara mereka (agar taat kepada Allah), tetapi mereka melakukan kefasikan….dst.”

Kedua, menurut Abu ‘Ubaidah dan Ibnu Qutaibah, kata amarnaa tersebut bermakna “Kami perbanyak”. Dalam bahasa Arab, salah satu makna amara adalah ‘menjadi banyak’. Berdasarkan penafsiran ini, maka kalimat tersebut berbunyi: “jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perbanyak orang-orang yang hidup mewah diantara mereka, lalu mereka berbuat kefasikan….dst.”

Ketiga, menurut Ibnul Anbariy, kata amarnaa berarti “Kami jadikan sebagai pemimpin atau penguasa”. Dari sudut pandang ini, ayat tersebut bisa dimaknai begini: “jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami jadikan orang-orang yang hidup mewah diantara mereka sebagai penguasa, lalu mereka berbuat kefasikan….dst.”

Sesungguhnya, ketiga penafsiran ini sejalan dan merujuk kepada fenomena serupa. Ketika Allah melihat sebuah komunitas dipenuhi orang-orang yang hidup mewah, dan kepada mereka telah didatangkan nasehat serta peringatan, namun mereka menolak untuk beriman dan memperbaiki diri bahkan semakin liar dalam berbuat kefasikan, maka Allah punya cukup alasan untuk membinasakan mereka.

Dari sisi lain, penafsiran ketiga menunjukkan tanda-tanda kehancuran sebuah negeri secara lebih gamblang. Menurut al-Qur’an, tampilnya orang-orang kaya yang gemar hidup mewah di barisan pemimpin dan penguasa bukanlah alamat yang baik. Apalagi jika mereka berkuasa semata-mata karena uangnya, bukan dilatari kecakapan dan sifat amanah. Besar kemungkinan, mereka akan berbuat fasik dan merusak. Kekuasaan yang ada di tangan mereka bakal menjadi sarana super efektif untuk memperluas akibat-akibat kefasikannya. Misalnya, melalui kebijakan dan peraturan yang jelas-jelas melawan Syari’at Allah dan merugikan masyarakat luas, namun selaras dengan hawa nafsu dan kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri.
Secara tersirat, ayat ini juga memperingatkan dua hal lain, yaitu: bahaya kemewahan terhadap kepekaan hati dalam menerima hidayah, serta dahsyatnya kerusakan yang diakibatkan oleh orang-orang kaya, gemar hidup mewah, dan fasik. Disini, bukan berarti kefasikan orang miskin tidak berbahaya, namun skala dan akibatnya jelas berbeda.
Pertanyaannya sekarang: “apakah tanda-tanda kehancuran itu telah terlihat dalam masyarakat dan negeri kita?”
Anda lebih tahu jawabannya. Hanya saja, sayup-sayup terdengar bisikan bahwa Anda tidak perlu memiliki kecakapan dan sifat-sifat terpuji untuk tampil sebagai pemimpin, asal memiliki cukup uang untuk membayar biaya-biaya politik yang sangat mahal itu. Dan, maraknya kasus-kasus korupsi ditengarai banyak kalangan sebagai akibat langsung dari politik biaya tinggi ini.
Sekarang, seiring terus mendekatnya berbagai even Pilkada, Pilpres, dan Pemilu, penting kiranya kita menyelisik calon-calon pemimpin itu. Sebelum terlambat, jauhi mereka yang gemar hidup mewah dan fasik. Jika tidak, maka ancaman Allah tidak pernah meleset.
Ingatlah, Indonesia bukan negara pertama dan satu-satunya di atas kepulauan ini. Tanah yang kini kita pijak telah menjadi saksi keruntuhan Sriwijaya, Mataram, Pajajaran, Majapahit, dsb; yakni ketika para pemimpinnya gagal menjalankan fungsinya sebagai tempat bernaung yang aman bagi rakyat, justru saling berebut dan mementingkan diri sendiri. Dalam skala internasional, kita bisa mengambil pelajaran dari ambruknya Kekaisaran Persia dan Romawi, bahkan Uni Soviet dan Yugoslavia. Apakah kita merasa bahwa Indonesia tidak mungkin bernasib sama? Waspadalah! Wallahu a’lam.*/

Rabu, 23 Juli 2014

ETIKA BERJUALAN

Ajaran Islam telah menghalalkan umatnya untuk melakukan aktivitas jual-beli atau berniaga. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 275, ‘’… Dan Allah telah menghalalkan jual beli…’’

Bahkan, Rasulullah SAW adalah seorang saudagar yang sangat terpandang pada zamannya. Sejak muda,  Muhammad dikenal sebagai seorang pedagang yang sangat jujur.

‘’Sepanjang perjalanan sejarah, kaum Muslimin merupakan symbol sebuah amanah dan di bidang perdagangan mereka berjalan di atas adab Islamiyah,’’ ungkap Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada dalam Ensiklopedi Adab Islam Menurut Alquran dan As-Sunnah.

Ya, etika berdagang para saudagar Muslim yang mengelilingi dunia beberapa abad silam telah menarik perhatian penduduk bumi untuk memeluk Islam. Bahkan, Islam masuk Indonesia pun, salah satunya melalui jalur perdagangan. Penduduk Indonesia pada zaman itu terpesona dengan adab berdagang yang dipegang teguh para saudagar Muslim.

Kini, umat Islam tak lagi menjadi penguasa di bidang perdagangan. Dominasi umat Islam di bidang ini telah dikalahkan umat lain. Tergesernya umat Islam dalam bidang perdagangan, barangkali karena sudah tak lagi memegang teguh etika dan adab berjual beli secara Islami.

Rasulullah SAW telah mengajarkan umatnya untuk berdagang dengan menjunjung tinggi etika keislaman. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan  sejumlah adab yang harus dijunjung seorang pedagang Muslim dalam menjalankan aktivitas jual beli.

Pertama, tidak menjual sesuatu yang haram. Umat Islam dilarang untuk menjual sesuatu yang haram, seperti; minuman keras dan memabukkan, narkotika, serta barang-barang yang diharamkan Allah SWT. ‘’Hasil penjualan barang-barang itu  hukumnya haram dan kotor,’’ papar Syekh Sayyid Nada.

Kedua, tidak melakukan sistem perdagangan terlarang. Salah satu contoh sistem perdagangan adalah menjual sesuatu yang tidak dimilikinya. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.’’  (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai).
Ajaran Islam melarang umatnya menjual sesuatu yang tidak dimiliki, menjual buah-buahan yang belum jelas hasilnya serta sistem perdagangan terlarang lainnya.

Ketiga, tidak terlalu banyak mengambil untung
. Menurut Syekh Sayyid Nada, seharusnya penjual tidak terlalu banyak mengambil untung. ‘’Ambillah keuntungan yang sedang dan wajar,’’ tuturnya. Seorang pedagang juga hendaknya mengasihani orang lain dan jangan hanya berambisi untuk mengumpulkan harta saja.

Rabu, 16 Juli 2014

Karakteristik Bangsa Israel dalam Al-Qur'an



1. Memiliki Perilaku Sosial yang Menyimpang

Melalui ayat-ayatnya, al-Quran memaparkan semua bentuk perilaku buruk Bani Israel terhadap bangsa lain, terhadap nabi-nabi mereka dan terhadap diri mereka sendiri. Mereka sampai berani mengucapkan kata-kata yang tidak pantas untuk Allah. Al-Quran merekam perkataan dan perilaku buruk mereka ini, "Orang-orang Yahudi berkata, 'Tangan Allah terbelenggu'. Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat sebab apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sesuai kehendak-Nya. Dan al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi. Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Ma'idah: 64)

Demikianlah, mereka mengatakan bahwa Allah bodoh dan hina. Mereka berkata, "Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami adalah kaya." Mereka juga mengatakan bahwa tangan Allah itu terbelenggu. Karena ucapan-ucapan itu, Allah menghukum mereka dengan menimpakkan sifat-sifat buruk sesuai dengan ucapan mereka, Allah melaknat dan mengusir mereka dari rahmat-Nya. "Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat sebab apa yang telah mereka katakan itu." (QS. Al-Ma'idah: 64) Kemudian Allah meluruskan penggambaran buruk ini dan memberikan sifat Zat-Nya dengan sifat-sifat mulia. Ia melimpahkan banyak karunia-Nya kepada hamba-Nya. l02) "(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka. Dia mendermakan sesuai kehendak-Nya." (QS. Al-Ma'idah: 64)

Kemudian Allah mengarahkan firman,Nya kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : "Dan al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka." (QS. Al-Ma'idah: 64) Ayat ini menceritakan tentang kebekuan jiwa orang-orang Yahudi yang semakin kafir, durhaka dan sombong, ketika mereka mendengar ayat-ayat Allah turun. Karena mereka tahu bahwa ayat-ayat tersebut adalah benar-benar firman Allah, dan bahwa ayat-ayat tersebut membongkar semua rahasia penyimpangan dan kebencian mereka terhadap kaum muslim, yang selama jni mereka senibunyikan di dalam jiwa mereka. 1O3) Demikianlah, ketika mereka mendengar ayat-ayat baru, mereka semakin keras hati dan, benci kepada al-Quran dan Nabi Muhammad. Kemudian Allah berfirman, "Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat." (QS. Al-Ma'idah: 64) Inilah kebenaran ungkapan al-Quran tentang perilaku sosial Yahudi yang sakit. Bahkan, di antara mereka sendiri, selalu terjadi perselisian, permusuhan dan kebencian yang tidak akan berakhir sampai datangnya hari Kiamat. 1O4) Memang, sekarang ini, orang-orang Yahudi, nampak tengah bersatu, saling tolong-menolong membangun dan memperkokoh entitas mereka di tanah Palestina. Namun, fenomena tersebut tidak menggambarkan hakikat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, kita hendaknya tidak terpaku pada satu fenomena. Kita juga perlu melihat kejadian-kejadian lampau yang telah dilalui orang-orang Yahudi. Sejak seribu empat ratus tahun yang lalu, yakni pada saat kemunculan Islam, dan bahkan sebelum kemunculan Islam, orang-orang Yahudi sudah terlibat dalam permusuhan, kehinaan, keterlunta-luntaan dan pertikaian. Catatan sejarah ini semakin menegaskan makna ayat-ayat di atas. Masa depan mereka, tentu, tidak akan jauh berbeda dengan masa lalu mereka. Setidaknya, jika kita lihat perkembangan sosial-politik nasional Israel akhir-akhir ini. Meskipun tidak nampak jelas, tersembunyi di balik perjalanan sejarah bersama mereka, kita lihat banyak perselisihan terjadi antara Partai Likud melawan Partai Buruh, kelompok sekuler melawan kelompok agama, Yahudi Barat Ashkenazim melawan Yahudi Sefardim Timur. Akan tetapi pertentangan ini tidak nampak jelas, tersembunyi, di balik perjalanan sejarah bersama mereka.
"Setiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya." (QS. Al-Ma'idah: 64) Ini adalah kebenaran al-Qur'an lainnya, mengetengahkan analisa yang jujur atas kepribadian Yahudi yang menakjubkan dalam peperangan. Orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang menyukai peperangan. Namun mereka bukanlah bangsa pahlawan, pemberani ataupun kesatria. Dalam sejarah, mereka dikenal sebagai bangsa yang pengecut. Dengan ungkapan yang indah, ayat di atas menjelaskan bagaimana mereka terlibat dalam sebuah peperangan: menyulut api konflik. Mereka mengobarkan peperangan antara dua pihak, sedangkan mereka lari dari peperangan tersebut. Yang menyulut perang bukan pihak yang berperang. Yang menyulut api bukanlah orang yang dibakar. Mereka menyulut api untuk orang lain, agar orang lain menjadi arang. Mereka menyulut api untuk orang lain, agar terbakar dan mereka menyaksikannya. Setiap kali apinya melemah, mereka mengumpulkan kayu bakar dan menyulutkannya kembali. Demikianlah perilaku orang-orang Yahudi: merencanakan peperangan bagi orang lain. Kalimat "kullama" (setiap kali) dalam ayat di atas (QS. Al-Ma'idah: 64) menunjukkan kontinuitas perilaku Yahudi dalam menyulut api konflik dan peperangan di antara manusia. Sejarah Yahudi dulu dan sekarang adalah bukti kuat kebenaran al-Quran. lO5)
Tentang Bani Israel, Allah berfirman,"Permusuhan antar sesama mereka sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah." (QS. Al-Hasyr: 14) Sekali lagi al-Quran menegaskan permusuhan, kebencian dan pertentangan yang terjadi di antara kelompok-kelompok masayarakat Yahudi. Pertentangan yang terjadi antar mereka, juga pertentangan mereka dengan tetangga mereka, adalah watak yang tidak dapat dipisahkan dari mereka sejak roda sejarah mereka dimulai. Penulis perlu garis bawahi, maksud pertentangan di sini bukan pertentangan antar mazhab keagamaan ataupun antar aliran politik yang biasa terjadi di dalam kehidupan ber­bangsa.
Abb"as al-Aqqad, dalam bukunya "Ash-Shahyuniyah wa Qadhiyah Falesthin" (Zionisme dan Persoalan Palestina), mengatakan, "Sikap memusuhi yang dimiliki orang Yahudi tersebut disebabkan oleh kesalahan dalam proses pembentukan bangun sosial mereka. Laju proses tersebut terhenti secara dini, yang mengakibatkan keterhambatan proses evolusi mereka dari suku primitif menjadi umat berperadaban. Kendatipun tingginya tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai, mereka tidak dapat membebaskan diri mereka dari hubungan kesukuan di antara mereka, seperti dulu saat hidup nomaden. Sistem kesukuan, dalam pengertiannya yang sempit, tetap menguasai perkembangan pemikiran sosial mereka. Masalah keimanan, bagi mereka, adalah masalah darah dan daging, masalah rasial, bukan masalah hidayah yang dapat dirasakan semua umat manusia." lO6) Atau dengan pengertian lain - yang kita simpulkan dari ucapan al-Aqqad di atas-agama Yahudi yang telah diselewengkan ini tidak mampu membentuk masyarakat Yahudi menjadi sebuah umat atau bangsa, sebagaimana umat atau bangsa lainnya. Komposisi masyarakat Yahudi yang kemudian terbentuk memberi dampak psikologis buruk dan hubungan yang tidak harmonis di kalangan mereka dan dengan bangsa-bangsa lainnya.
Selanjutnya al-Aqqad berkata, "Kerancuan inilah yang membuat mereka asing di setiap lingkungan. Mereka bukanlah suku badui, namun mereka juga bukan bangsa berperadaban." lO7)

2.Pengecut

Di antara sifat Bani Israel yang kesohor adalah sifat pengecut. Sifat ini sangat kentara dalam setiap perilaku mereka. Sifat ini telah mengakar di dalam struktur kejiwaan mereka. Penyebabnya adalah kecintaan mereka yang sangat terhadap gemerlap dunia dan keengganan mereka untuk mati. Hal ini telah dijelaskan al-Quran. "Dan sungguh kamu akan menemukan mereka sebagai manusia yang paling rakus kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih rakus lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkan-nya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-Baqarah: 96) Sebagaimana yang digambarkan ayat tersebut, ambisi terbesar Yahudi adalah hidup di dunia ini selama mungkin. Ketergantungan seseorang dengan kehidupan duniawi dan kecintaannya untuk tetap hidup, akan melahirkan sifat pengecut dan hina. Karena manusia, ketika lebih mencintai kehidupannya, ia tidak akan berani mempertahankan kehormatannya. Ia akan lebih mengedepankan kehinaan dari pada kematian. Demi kelangsungan hidupnya, ia rela dicemooh orang. Sejak dahulu, orang-orang Yahudi terkenal dengan sifat ini. Mereka tidak berani berhadapan dengan musuh-musuh mereka di medan pertempuran. Mereka cenderung berlindung di benteng-benteng mereka. Ini adalah cara berperang mereka yang diceritakan al-Quran, "Mereka tiada akan memerangi kalian dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok." (QS. Al-Hasyr: 14) Hakikat ini juga dipertegas dengan fakta-fakta sejarah seputar peperangan mereka dengan kaum mukminin. Mereka tidak berperang kecuali dengan berlindung di balik koloni-koloni mereka yang berbenteng di Palestina. Jika terdesak, mereka akan lari tunggang-langgang seperti tikus.
Al-Quran menceritakan kisah mereka bersama Musa a.s., dengan kekerdilan jiwa dan sifat pengecut mereka, ketika mereka diperintahkan untuk memasuki Tanah Suci. Mereka menolak untuk memasukinya, meskipun Musa a.s. langsung memimpin mereka. Mereka menampakkan rasa takut mereka terhadap kematian dan cinta dunia. Mereka tetap menolak untuk memasuki Tanah Suci. Mereka lebih memilih untuk kembali murtad. "Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, 'Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke Tanah Suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian menjadi orang-orang yang merugi'." (QS. Al-Ma'idah: 20-21) Dari ucapan Musa a.s. di atas, kita dapat mera­sakan bahwa Musa a.s. khawatir mereka akan melupakan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Tuhan yang akan mengantarkan mereka menuju tanah perdamaian dan pantai keselamatan. Kita menemukan kekhawatiran Musa a.s. ini melalui peringatan beliau kepada mereka agar ingat akan nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka. Di antaranya, nikmat banyaknya nabi dari kalangan mereka yang mengentaskan mereka dari kesesatan dan melapangkan jalan, nikmat bebas dari perbudakan yang menghinakan derajat mereka, dan nikmat-nikmat lain yang tidak diberikan kepada bangsa lain di zaman mereka. Dan Musa a.s. yakin kekhawatirannya akan terjadi, dengan kondisi jiwa mereka yang rusak dan kecintaan mereka terhadap harta.
Jiwa Bani Israel adalah jiwa yang hina. Rasa takut, lari dari tanggung jawab dan ingkar janji selalu menghiasi perilaku mereka. Karena itu, dengan ungkapan yang tidak sopan, mereka berkata kepada Musa a.s., "Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami tidak akqn masuk ke dalamnya sebelum mereka keluar. Jika mereka keluar, pasti kami akan masuk." (QS. Al-Ma'idah: 22)
Bani Israel tetap menolak untuk masuk ke Tanah Suci. Al-Quran mengungkapkannya dengan menggunakan kata "lan" (tidak akan) (QS. Al-Ma'idah: 22) Huruf tersebut digunakan untuk negasi masa depan. Artinya, mereka tidak akan pernah masuk Tanah Suci, sampai orang-orang itu keluar meninggalkan Tanah Suci. Tidak seorang Yahudi pun yang berani melawan mereka, kecuali beberapa gelintir dari mereka yang diberi nikmat kesalehan, keimanan dan tawakal. Mereka ini mengingatkan orang-orang Yahudi akan kemenangan dan kemuliaan yang dijanjikan Tuhan, yang dapat diraih hanya dengan masuk ke dalam gerbang Tanah Suci. Akan tetapi orang-orang Yahudi tidak mau mendengar peringatan mereka. Mereka tetap menolak berjihad. "Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya, 'Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu. Bila kalian masuk ke dalamnya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman'."(QS. Al-Ma'idah: 23)
"Prinsip dalam ilmu kejiwaan dan ilmu peperangan adalah: bulatkan keberanian kalian, dan serbu! Ketika kalian sudah masuk ke tengah-tengah kota, mereka akan tersentak kaget dan merasa ciut. Dengan demikian, kalian akan mendapat kemenangan:" 1O8)
Demikianlah, sikap orang-orang Yahudi yang pengecut dan cinta dunia, ketika mereka dihadapkan pada tanggung jawab. Mereka melukai hati Musa a.s. dan Harun a.s. dengan kata-kata tidak sopan. "Mereka berkata, 'Hai Musa, kami tidak akan masuk ke dalamnya selama-lamanya, selama mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja'." (QS. Al-Ma'idah: 24) Begitulah orangorang Yahudi mengungkapkan kelemahan mereka. Mereka memilih untuk tidak bertuhan, jika mereka dibebani tugas berperang. "Kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS. AlMa'idah: 24). Kami tidak mau kerajaan, kemuliaan, ataupun tanah yang dijanjikan, selama syarat pencapainnya adalah berhadapan dengan bangsa barbar tersebut.
Akhirnya Bani Israel meninggalkan Musa dan Harun berdua tanpa pendukung. Maka Musa pun mengadu kepada Tuhannya akan derita dan kesedihan yang dirasakannya, setelah perjuangan panjang melelahkan yang ia lakukan. "Berkata Musa, 'Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu'." (QS. Al-Ma'idah: 25) Ia berdoa agar dipisahkan dari mereka, karena mereka telah berpaling. Ia putus asa dan menyebut mereka sebagai orang-orang fasik dan durhaka. Seolah-olah ia berdiri di persimpangan jalan dan berkata, "Selamat tinggal. Aku pergi menghadap Tuhanku!"
Lalu Allah mengabulkan doa Nabi-Nya, dan menimpakan kepada orang-orang fasik tersebut hukuman yang setimpal. "Allah berfirman, '(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. (Selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di muka bumi. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu'" (QS. Al-Ma'idah: 26) Demikianlah akhirnya Bani Israel dihukum dengan keterlunta-luntaan. Padahal mereka sudah berada di ambang pintu Tanah Suci, yang dengannya Allah hendak muliakan mereka.. Akan tetapi mereka melakukan tindakan yang berbuah keburukan, Maka, Allah mengharamkan Tanah Suci bagi mereka, yang sebelumnya Ia anugerahkan untuk mereka.
Sayid Quthb berkata,
"Menurut pendapat yang paling kuat argumennya, pengharaman Tanah Suci hanya berlaku bagi generasi tersebut, sampai muncul generasi baru yang lebih baik. Generasi yang tumbuh dalam buaian padang pasir. Generasi yang tidak dirusak oleh kehinaan, perbudakan dan kelaliman di Mesir. Kehinaan, perbudakan dan kelaliman hanya akan merusak fitrah individu dan masyarakat." lO9)
Al-Quran menceritakan juga sikap pengecut Bani Israel ketika menghadapi situasi genting, dan inkonsistensi mereka ketika dibenturkan dengan kesulitan. "Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israel sesudah Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, 'Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah'." (QS. Al-Baqarah: 246) Setelah kerajaan mereka hancur, harta kekayaan mereka dirampas, dan mereka terhina di hadapan musuh-musuh mereka, akidah mereka mulai bangkit lagi di dalam jiwa mereka. Para pemimpin Bani Israel, yang memiliki kedudukan dan ilmu yang cukup tinggi, mendatangi nabi mereka, Samuel. Mereka meminta Samuel untuk memilih seorang raja yang akan memimpin perang melawan musuh-musuh mereka yang telah merampas kerajaan beserta peninggalan nabi-nabi mereka. Untuk melihat kesungguhan niat berperang mereka, Samuel bertanya, "Nabi mereka menjawab, 'Jika kalian nanti diwajibkan berperang, apakah kalian tidak akan berperang?'" (QS. Al-Baqarah: 246) Yakni, tidakkah kalian akan takut dan lari meninggalkan peperangan? Kata tanya dengan menggunakan "hal" (apakah) (QS. Al-Baqarah: 246) di sini menunjukkan bahwa perkiraan tersebut sangat mungkin dan akan terjadi. llO)
Sayid Quthb berkata,
"Bani Israel menjawab pertanyaan yang diajukan nabi mereka ini dengan "tidak". Semangat mereka begitu tinggi dan mereka berkata, "Apa alasan kami tidak mau berperang di jalan Allah, sedang kami, dan anak-anak kami, telah diusir dari kampung halaman kami?" (QS. Al-Baqarah: 246) Akan tetapi semangat mereka itu kemudian memudar di tengah jalan, sebagaimana yang diceritakan dalam kisah: "Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka." (QS. Al-Baqarah: 246) Di sini nampak watak Bani Israel yang suka ingkar janji dan lari dari tanggung jawab. Orang-orang Yahudi tersebut urung maju ke medan perang kecuali beberapa orang yang benar-benar berpegang teguh pada janji mereka. Mereka adalah tentara yang keluar bersama Thalut, yang diangkat menjadi raja mereka setelah melalui perdebatan yang panjang seputar kepantasannya menjadi raja dan kemampuannya untuk memimpin." lll)
Tentara yang ikut bersama Thalut ini juga tidak lepas dari ujian. Dan tidak ada yang lulus kecuali beberapa orang yang berpegang teguh kepada Tuhannya, meneruskan perjalanan bersama Thalut menghadapi Jalut dan tentaranya. "Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, 'Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan suatu sungai; barangsiapa yang meminum airnya, maka ia bukan pengikutku. Barangsiapa tidak meminumnya, kecuali hanya dengan raupan tangan, maka ia adalah pengikutku.' Kemudian mereka meminumnya, kecuali beberapa orang di antara mereka." (QS. Al-Baqarah: 249) Ketika berhadapan dengan musuh, pasukan pilihan ini pun merasa gentar. Mereka berkata, "Sekarang ini kita tidak cukup kuat untuk menghadapi Jalut dan tentaranya."
Kisah ini menunjukkan sifat pengecut mereka yang takut menghadapi musuh dalam sebuah pertempuran, padahal mereka sendiri yang meminta pertempuran tersebut kepada nabi mereka. Tidak seorangpun yang mampu bertahan kecuali beberapa gelintir di antara mereka. Dan pada hakikatnya, hal itu bukan sebuah masalah. Sebab besarnya jumlah pasukan bukan jaminan untuk menang. Sejarah telah membuktikan hal itu. Perang Badar, misalnya. Kemenangan tidak diraih kaum kafir Quraisy, meski mereka berjumlah banyak. Allah kemudian menolong Thalut. Dan Daud berhasil membunuh Jalutuz Pada saat itu, Daud adalah prajurit termuda di dalam pasukan Thalut. 'Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak, dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 249)
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Thalut, dengan jiwa kepemimpinannya yang tinggi, sengaja melakukan beberapa ujian dalam hal akidah, ketulusan dan kebulatan tekad, untuk menyaring pasukannya. Dengan begitu, ia akan mudah membawa pasukannya menghadapi musuh.

3. Gemar Berbuat Makar dan Khianat

Jiwa orang-orang Yahudi adalah jiwa yang dipenuhi dengan makar, pengkhianatan dan iri dengki. Mereka membenci bangsa-bangsa selain mereka. Mereka bercita-cita membersihkan seluruh penduduk bumi. Karena mereka ingin hidup ini menjadi milik mereka sendiri. Sejarah tidak mengenal orang yang paling cepat mengingkari janji dan lebih dengki dari pada mereka. Seluruh dunia telah dipenuhi oleh api kedengkian dan makar mereka. Banyak peristiwa pahit dunia digerakkan oleh tangan-tangan Yahudi secara rahasia.
Al-Quran merekam kisah konspirasi dan pengkhianatan yang dilakukan anak-anak Yakub terhadap saudara mereka, Yusuf a.s., karena dengki yang memenuhi jiwa mereka. Allah berfirman, "(Yaitu) ketika mereka berkata, 'Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Benyamin) lebih dicintai oleh ayah kita (ini) daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayah kalian tertumpah kepada kalian saja, dan sesudah itu hendaklah kalian menjadi orang-orang yang baik.' Seorang di antara mereka berkata, 'Jangan kalian bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kalian hendak berbuat'." (QS. Yusuf: 8-10)
Yakub a.s. sebenarnya sudah mengetahui kedengkian terhadap Yusuf yang memenuhi jiwa anak-anaknya ini. Karena itu ia menasihati Yusuf a.s. agar berhati-hati terhadap mereka. Ia berpesan, "Hai anakku, jangan engkau ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu. (Jika mereka tahu,) mereka akan membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (QS. Yusuf: 5) Maka mereka akan berusaha menghabisimu secara diam-diam yang tidak dapat engkau cegah. 1l3) Dan benar, pengkhianatan mereka terhadap Yusuf terjadi, sebagaimana yang diperkirakan Yakub a.s. Mereka melakukan tipu daya dan mengatakan bahwa Yusuf dimakan srigala.
Kita dapat menyimpulkan dari kisah Yusuf dan saudarasaudaranya ini, bahwa struktur kejiwaan orang-orang Yahudi memang sudah mengandung benih makar dan tipu daya sejak dahulu, jauh-jauh hari sebelum masa Musa a.s. dan Harun a.s . Cacat jiwa ini nampaknya menjadi watak mereka yang tidak dapat dirubah. Semangat permusuhan terhadap orang-orang saleh dan para penyeru tauhid dan kebaikan berakar di dalam jiwa mereka. Penyimpangan-penyimpangan ini semakin bertambah mengakar di dalam struktur kejiwaan dan moral mereka dengan berlalunya waktu, di bawah tekanan, kehinaan dan perbudakan, sampai-sampai mereka berani membunuh para nabi mereka dan memanipulasi Kitab Suci mereka. Pada masa antara Ibrahim a.s. dan Musa a.s., muncul banyak nabi dan penyeru yang mereka bunuh dan lukai. Mereka tidak meninggalkan seorang nabipun kecuali menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan keji. Sejarah mengatakan Bani Israel telah membunuh tujuh puluh nabi dari nabi-nabi mereka. 1l4)
Perhatikanlah firman Allah, "Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak dingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh." (QS. Al-Ma'idah: 70)
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih!" (QS. Ali Imran: 21)
Kemudian datang masa Musa a.s. yang menemani Bani Israel dalam alur sejarah yang panjang. Ia menemukan jiwa mereka dipenuh dengan pengkhianatan dan ingkar janji. Ia berhasil membawa mereka keluar dari Mesir. Ia membebaskan mereka dari kehinaan dan kelemahan, dengan kekuasaan Allah yang membelah laut untuk mereka dan menenggelamkan Firaun dan tentaranya. Suatu ketika mereka melewati sebuah kaum yang menye.mbah berhala, mereka berkata, "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)" (QS. Al-A'raf: 138) Tidak lama setelah kepergian Musa a.s. menemui Tuhannya, Samiri membuat patung anak sapi dari emas untuk mereka sembah. Di tengah-tengah padang pasir, Tuhan mengeluarkan mata air untuk mereka, menurunkan manna dan salwa sebagai makanan mereka. Namun mereka malah meminta sayur mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah. Dengan demikian, mereka telah menolak makanan yang baik. Kesabaran Musa a.s. juga diuji dalam kisah sapi betina dan penyembelihannya. Mereka bermalas-malasan untuk taat dan melaksanakan. "Kemudian mereka, menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.' (QS. Al-Baqarah: 71) Ia juga diuji ketika pulang dari pertemuannya dengan Tuhan, dan bersamanya lembaran-lembaran perintah Tuhan. Mereka menolak untuk taat dan melaksanakan janji mereka terhadap Tuhan. Kemudian di depan gerbang Tanah Suci, tanah yang dijanjikan, tanah yang karenanya mereka keluar dari tanah Mesir, mereka menolak memasukinya. ll5)
Demikianlah Bani Israel memperdayai para nabi mereka. Mendustakan dan menjadikan mereka musuh sepanjang masa. Hal itu disebabkan ajaran para nabi bertolak belakang dengan kecenderungan dan keinginan mereka. Mereka tidak mau memberikan kepatuhannya kepada para nabi atau rasul. Dan tidak seorang nabipun yang selamat dari mereka . Bahkan Isa al-Masih yang datang untuk meringankan beban dan memperbaiki arah perjalanan mereka, juga tidak diterima dengan baik. Mereka merasa terganggu dengan kehadiran Isa dan risalah kenabiannya. Maka mereka menyusun sebuah konspirasi untuk membunuhnya. 116) Akan tetapi takdir Allah menentukan yang lain. Makar mereka tidak berhasil. Allah menyelamatkan Isa dan mereka membunuh orang yang mirip dengannya. Perhati­kan firman Allah, "Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (lngatlah), ketika Allah berfirman, 'Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan engkau kepada akhir ajalmu dan mengangkat engkau kepada-Ku serta membersihkan engkau dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kalian kembali, lalu Aku memutuskan di antara kalian tentang hal-hal yang selalu kalian perselisihkan." (QS. Ali Imran: 5455) "Dan karena ucapan mereka, 'Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, utusan Allah.' Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti sangkaan belaka. Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa." (QS. An-Nisa': 157)
Negara Islam pun, dari awal kehadirannya hingga dewasa ini, juga tidak luput dari racun kedengkian dan makar mereka. Sejak kedatangan Rasulullah ke Madinah, mereka telah menyusun bermacam-macam rencana konspirasi dan makar terhadap kaum muslimin, yang terkadang memanfaatkan orang-orang musyrik dan terkadang orang-orang munafik, untuk menghancurkan entitas kaum muslimin. Seperti diketahui, ketika memasuki Madinah, Rasulullah memperlakukan Bani Israel dengan baik, dan penuh rahmat. Ia menjamin agama, jiwa dan harta mereka. Bahkan ia mengajak mereka untuk memeluk agama baru ini. Akan tetapi mereka tetap orang Yahudi yang membalas kebaikan dengan kejahatan, cinta dengan pengkhianatan, janji dengan pengingkaran. Dan Rasulullah membalas perilaku mereka ini dengan memutuskan perjanjian mereka, memerangi mereka, mengeluarkan mereka dari Madinah kemu­dian dari Jazirah Arab.
Orang-orang Yahudi tahu benar bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Nabi Allah yang benar dan bahwa agama ini adalah risalah samawi yang benar untuk sekalian manusia. Mereka tahu bahwa Nabi akhir zaman ini akan muncul di Arab. Dan yang mereka harapkan Nabi ini muncul dari kalangan mereka. Akan tetapi ketika Sang Nabi muncul tidak sesuai dengan harapan, mereka memusuhi dan menolak hidayah. Mereka lebih memilih kafir daripada iman. Mereka lebih memilih menjadi pengikut setan daripada menjadi tentara kebenaran . "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah,: 109)

4. Tinggi Hati

Congkak, tinggi hati dan rasis adalah sifat tercela yang dimiliki Bani Israel sepanjang sejarah mereka. Mereka menganggap diri mereka sebagai manusia yang paling mulia yang berada di puncak. Terhadap bangsa-bangsa lain, mereka memandang dengan penuh angkuh dan merendahkan. Konsepsi ini diciptakan oleh Taurat - yang diselewengkan - dan ajaran Talmudyang palsu.
Mereka yakin bahwa Allah mengistimewakan mereka dari bangsa-bangsa lain, baik itu secara fisik, semangat dan akhir sejarah mereka nanti. Mereka mengklaim bahwa mereka diciptakan dengan bentuk manusia, karena memang mereka berhak mendapatkannya. Sedangkan bangsa-bangsa lain, meski diciptakan dalam bentuk manusia, namun ditujukan sebagai pelayan bagi orang-orang Yahudi. Dalam anggapan orang-orang Yahudi, mereka adalah hewan dalam bentuk manusia. l17)
Seseorang mungkin'bertanya-tanya, mengapa Allah memuliakan bangsa Yahudi di muka bumi ini, dengan firman-Nya kepada mereka, "Hai Bani lsrail, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian dan (ingat pula) bahwa Aku telah melebihkan kalian atas segala umat." (QS. Al-Baqarah: 47)
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Afif Abdul Fatah Thabbarah, pemuliaan Bani Israel oleh al-Quran ini maksudnya adalah: Mereka bukan lebih mulia dibanding kaum mukminin, namun mereka lebih mulia dibanding thagut yang ketika itu ada, yaitu Firaun dan para pengikutnya. Tuhan memuliakan mereka, karena mereka teraniaya, sebagaimana yang dipaparkan al-Quran, "Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir)." (QS. Al-Qashash: 5) "Dan telah sempurnalah perkataan Tuhan-mu yang baik (sebagai janji) untuk Bani lsrail disebabkan kesabaran mereka." (QS. Al-A'raf: 137). Pemuliaan al-Quran terhadap mereka ini bukan karena ras mereka. Sebuah kaum akan dimuliakan Allah karena perbuatan mereka. Karena itu, setelah menyebutkan pemuliaan, pada paruh lain, ayat tersebut mengingatkan agar mereka tidak terpedaya dengan kemuliaan yang diberikan kepada mereka ini. Karena setiap manusia akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatannya. 118) Allah berfirman, "Dan jagalah diri kalian dari (azab) hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain sedikitpun. (Begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan mereka tidak akan ditolong." (QS. Al-Baqarah: 48)
Dari sini, kita dapat memahami bahwa Bani Israel, pada saat mereka diberi kemuliaan, merupakan bangsa yang paling baik moralnya dan bangsa yang paling baik ibadahnya dibanding bangsa-bangsa lain yang menganut paganisme, menyembah patung, bintang, pepohonan dan manusia. Dengan demikian, kemuliaan tersebut tidak abadi. Kemuliaan tersebut akan tetap diberikan sepanjang mereka konsiten dan itu tidak berlangsung lama. Karena watak mereka yang rapuh, mudah menyimpang dan terperosok.
Seandainya benar Bani Israel lebih mulia dibanding seluruh bangsa lainnya, sebagaimana yang mereka yakini, mengapa Allah berfirman kepada mereka, dengan ungkapan yang sangat jelas, bahwa Allah akan memberi mereka balasan yang baik atas amal-amal mereka, dan bahwa mereka, jika berbuat dosa, tidak dapat ditolong oleh seorang pun, tidak dapat dibebaskan dengan tebusan apapun yang dapat menggantikan segala perbuatan buruk mereka dan menyelamatkan mereka dari siksa Allah? 119)
Dengan demikian, al-Quran menegaskan bahwa Allah memilih mereka, di masa yang lampau, untuk mengemban risalah-Nya, sekaligus memuliakan mereka dengan risalah tersebut atas sekalian manusia pada masa itu. Mereka adalah orang-orang yang berserah diri, di saat bangsa-bangsa lain, pada masa itu, adalah orang-orang yang kafir. Pemberian kemuliaan ini bukan karena ras, darah ataupun warna kulit tertentu, melainkan karena tugas, yang sekaligus menjadi ujian bagi mereka. Karena itulah pemberian kemuliaan ini diikuti dengan kata-kata usaha dan ujian. 120) "Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa. Dan Kami telah memberikan kepada mereka di antara tanda-tanda kekuasaan (Kami) sesuatu yang di dalamnya terdapat nikmat yang nyata." (QS. Ad-Dukhan: 32-33) Yang dimaksud dengan al-bald al-mubin adalah bencana, atau ujian dengan kemakmuran dan kesengsaran, karunia dan bencana, agar Allah tahu apa yang akan mereka perbuat. 121)
Dengan demikian, pemuliaan sebuah bangsa atau umat patokannya adalah ketakwaan dan keimanan kepada Allah, amar makruf nahi munkar dan akidah tauhid yang konsisten. Tatkala Bani Israel meninggalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran langit, mereka dinyatakan keluar dari wilayah kemuliaan dan mendapat laknat. "Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (QS. Al-Ma'idah: 78-79)
Berkenaan dengan tafsir makna pemuliaan ini, sebagian ulama, berpendapat bahwa pemuliaan terhadap Bani Israel ini berwujud: banyaknya nabi yang diutus berasal dari kalangan mereka. Namun penulis meragukan pendapat ini. Karena banyaknya nabi yang diutus pada satu kaum adalah bukti betapa kafirnya mereka dan betapa cepatnya mereka menyimpang dan mendustakan ajaran-ajaran para nabi tersebut. Inilah yang dilakukan Bani Israel terhadap nabi-nabi mereka.
Di dalam al-Quran, secara tegas, Allah juga menepis klaim Bani Israel berkenaan dengan kemuliaan yang mereka miliki. Allah berfirman, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, 'Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya.' Katakanlah, 'Mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian?' (Kalian bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya), tetapi kalian adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni orang yang dikehendaki-Nya dan menyiksa orang yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada Allah lah (segala sesuatu) kembali." (QS. Al-Ma'idah: 18) Ini adalah bukti jelas penolakan atas kemuliaan yang mereka klaim. Al-Quran berkata kepada mereka secara langsung, "Jika kalian, wahai orang-orang Yahudi, benar-benar lebih mulia daripada manusia lainnya, seperti yang kalian klaim, mengapa kalian tidak luput dari siksa yang Allah timpakan kepada kalian karena amal-amal buruk kalian?" Firman Allah di dalam ayat tersebut, "Tetapi kalian adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakanNya." (QS. Al.Ma'idah: 18) adalah penolakan tegas atas gagasan ras unggul, bangsa pilihan Tuhan. Karena dosa-dosa kalian, maka Tuhan menelantarkan kalian. Dan karena perbuatan buruk kalian, maka kalian menjadi contoh jelek bagi manusia.
Di banyak tempat, al-Quran mengetengahkan penolakan Allah atas klaim mereka sebagai bangsa yang agung dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Di antaranya adalah firman Allah, "Katakanlah, 'Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kalian mendakwakan bahwa hanya kalian kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematian, jika kalian orang-orang yang benar'." (QS. Al-Jumu'ah: 6) "Katakanlah, 'Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka harapkanlah kematian (kalian), jika kalian memang benar'." (QS. Al-Baqarah: 94)
Dengan dua ayat di atas, Allah menelanjangi mereka, menguak kebohongan-kebohongan yang mereka sembunyikan' di dalam relung jiwa mereka. Ia berfirman, "Jika kalian benar-benar mencintai Allah dan beriman kepada-Nya, maka berharaplah kematian, agar kalian cepat bertemu dengan-Nya! Lakukanlah segera, kalau benar kalian adalah hamba Tuhan dan bahwa surga di akhirat nanti khusus diperuntukkan buat kalian!"
Orang-orang Yahudi merasa diri mereka adalah bangsa yang mulia. Mereka mengaku sebagai perpanjangan generasi para nabi dari keturunan Ibrahim a.s. dan Ishak a.s. Akan tetapi al-Quran membantah klaim ini. Al-Quran mensyaratkan bahwa suatu generasi dapat dianggap sebagai generasi keturunan para nabi jika patuh terhadap ajaran-ajaran para nabi. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishak. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata." (QS. Ash-Shaffat: 113) Di dalam ayat lain, Allah juga berfirman, menegaskan bahwa keabsahan garis keturunan suatu generasi dengan para nabi dilihat dari akidah dan ajaran yang mereka ikuti. "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Kitab. Di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik." (QS. Al-Hadid: 26) Bahkan umat Islam sendiri-yang merupakan umat terbaik di muka bumi ini-tidak akan menjadi mulia kecuali disertai dengan syarat konsisten dalam mengemban tugas dakwah tauhid dan amar makruf nahi munkar. "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110) Karena itu, umat Islam tidak akan mencapai derajat kemuliaan kecuali dengan merealisasikan tanggung jawab risalahnya. Jika umat ini lalai dengan tugasnya dalam dakwah dan ishlah (perbaikan), maka ia akan kehilangan kemuliaannya. "Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104) Karena itu, ketika umat ini meninggalkan ajaranajaran Nabinya dan hukum-hukum Kitab Sucinya, maka ia kehilangan jati dirinya, lepas dari kemurniannya, menjadi umat yang terbelakang dan dipermainkan oleh umat-umat lain yang salah satunya adalah umat Yahudi, umat terburuk di muka bumi ini.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kehidupan umat Islam sebagai berikut, "Akan datang suatu masa di mana umat umat lain akan menghampiri kalian layaknya orang lapar menghampiri hidangannya." Para sahabat bertanya, "Apakah itu terjadi karena jumlah kami saat itu sedikit, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Tidak! Waktu itu kalian berjumlah banyak, akan tetapi kalian seperti buih di atas air. Allah telah mencabut rasa takut di hati musuh-musuh kalian dan membenamkan di dalam jiwa kalian kelemahan." Mereka bertanya, "Apa penyebab kelemahan itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati. " 122)

5. Berlebih dalam Mencintai Harta

Sepanjang sejarah Bani Israel, yang paling menonjol dari mereka adalah semangat materialismenya. Mereka dikenal sebagai bangsa yang sangat materialistis dibanding bangsa-bangsa lainnya. Sampai-sampai mereka menganggap harta adalah tujuan utama dalam hidup: dengan harta kehidupan dunia ini akan menjadi menyenangkan, dan sebaliknya, tanpa harta hidup akan menjadi sakit. Mereka juga menganggap bahwa harta adalah unsur utama dalam mewujudkan cita-cita sosial dan politik mereka. Bagi mereka, demi tercapainya tujuan, cara apapun halal ditempuh, sekalipun hina dan kotor.
Karena itu, tidak mengherankan jika mereka sampai menuhankan harta., mengkultuskan dinar dan dirham, menyembah emas dan perak. Al-Quran telah merekam sifat buruk mereka ini, yakni di saat mereka membuat anak sapi dari emas - yang mereka jadikan sesembahan bagi mereka - yang didorong oleh kecintaan mereka yang sangat terhadap harta, di samping karena akidah (perilaku) mereka yang menyimpang. "Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur, membuat anak lembu yang bertubuh dan bersuara dari perhiasan (emas) mereka. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al-A'raf: 148) Alangkah cepatnya mereka berpaling dari ajaran-ajaran iman dan tauhid, hanya karena mereka ditinggal Musa yang akan menemuia Tuhannya selama empat puluh hari. Mereka menye_ kutukan Allah dan hampir saja menibunuh Harun.
Allah menceritakan bahwa mereka selalu menimbun emas dan perak. "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak mendermakannya di jalan Allah. Beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah: 34) (Perang Teluk ini untuk sebongkah emas lho)
Al-Quran menjelaskan bahwa mereka selalu memandang baik harta yang mereka dapatkan secara tidak halal, "Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram." (QS. Al-Ma'idah: 42) Juga dalam ayat lain, "Dan engkau akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu." (QS. Al-Ma'idah: 62)
Karena kezaliman dan tindakan mereka yang menghalang-halangi jalan Allah, memakan harta riba dan menguasai harta orang lain dengan cara bathil, maka Allah menghukum mereka dengan cara mengharamkan sebagian apa yang dihalalkan bagi mereka sebelumnya. "Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereha telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta dengan jalan yang batil." (QS. An.Nisa': 160-161)
Kezaliman mereka ini berupa: pertama, menghalang-halangi orang lain masuk ke dalam agama Allah. Kedua, melakukan praktek riba, padahal telah dilarang. Ketiga, "dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil." (QS. An-Nisa': 161), seperti suap, menipu, mengurangi timbangan dan monopoli. Teks al-Quran yang singkat di atas menggambarkan betapa semangat materialistime yang eksploitatif memenuhi relung-relung jiwa mereka. Demi materi, mereka menghalalkan riba. Dan kita semua juga tahu, bahwa pembuat sistem ekonomi kontemporer, yang berdiri di atas prinsip riba, adalah mereka, orang-orang Yahudi. 123)
Dengan harta dan kekayaan yang berlimpah, Bani Israel menyombongkan dirinya. Mereka mengatakan sebuah kebohongan: bahwa Allah miskin. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya'." (QS. Ali Imran: 181) Demikianlah al-Quran membongkar kebohongan-kebohonga mereka, kesewenang-wenangan mereka, perbuatan mereka memakan harta haram dan menghalang-halangi jalan Aliah. 124)

6. Keras Hati

Al-Quran mengibaratkan hati Bani Israel bagaikan batu yang keras, bahkan lebih keras daripada batu gunung. Batu gunung terkadang dapat menyemburatkan mata air dan sungai, yang dapat memberi minum hewan ternak dan tumbuhan. Bahkan, di antara bebatuan tersebut ada yang begeser dan jatuh karena takut Allah - disebabkan oleh gempa dan aktivitas vulkanik - sebagai sebuah kepatuhan dan ketaatan terhadap perintah Allah. Allah berfirman, mensifati hati orang-orang Yahudi, "Kemudian hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan." (QS. Al-Baqarah: 74) Kerasnya hati mereka ini disebabkan oleh keterkungkungan mereka dalam lingkaran kekafiran dan kedurhakaan, cinta harta dan kehidupan duniawi. Kerasnya hati dan keringnya jiwa mereka dari rasa cinta kasih ini menyebabkan mereka tega membunuh para nabi, orang-orang saleh dan juru dakwah mereka.
Thabbarah berpendapat:
"Yang dimaksud dengan hati di sini adalah apa yang selama ini menjadi simbol dari hati itu sendiri, yakni intuisi dan akal. Hati Bani Israel yang keras ini, telah kehilangan sensitifitasnya. Hukum, anjuran dan pelajaran tidak lagi dapat meresap ke dalam hati mereka. Karena itu mereka terjatuh dari semangat kemanusiaan yang luhur ke dalam jurang materi yang rendah, bahkan lebih." 125)